Akhir-akhir ini
Indonesia sering di hebohkan dengan kasus-kasus yang di kaitkan dengan kondisi
psikologis korban atau pelakunya. Sebut saja, kasus yang paling lama di
tangani, menyita banyak perhatian netizen dan memakan banyak energi dan mungkin
biaya untuk menuntaskannya, “Kasus Jessica, Kopi Bersianida”. Begitu mengundang
perhatian publik hingga banyak meme meme berhamburan tentang Jessica dan Mirna
(korban). Banyak pemberitaan yang di buat, seolah-olah seperti progress report case yang di publikaskan melalui berbagai media, baik televisi,
surat kabar ataupun berita online. Terhitung mulai dari tanggal 6 Januari
sampai sekarang bulan november 2016 (hampir 1 tahun) .
![]() |
Sumber : http://www.bintang.com/lifestyle/read/2440587/3-kesalahan-jessica-yang-takkan-pernah-dilupakan-oleh-ayah-mirna |
Baca : Mengejutkan! Fakta Orang Gila/ Skizofrenia di Indonesia.
Terlepas dari bagaimana proses kasus tersebut hingga begitu lama terselesaikan. Ilmu mengenai Psikologi Forensik memiliki banyak kontribusi di dalamnya. Mungkin ilmu yang satu ini masih tidak lebih terkenal dari kajian-kajian psikologi lainnya, misal psikologi industri ataupun klinis.
Terlepas dari bagaimana proses kasus tersebut hingga begitu lama terselesaikan. Ilmu mengenai Psikologi Forensik memiliki banyak kontribusi di dalamnya. Mungkin ilmu yang satu ini masih tidak lebih terkenal dari kajian-kajian psikologi lainnya, misal psikologi industri ataupun klinis.
Padahal berbagai kasus
yang berkaitan dengan proses peradilan pidana seringkali berhubungandengan
berbagai permasalahan psikologi, melainkan sebagai permasalahan hukum.
Sesungguhnya banyak permasalahan hukum yang memerlukan peran serta psikologi. Kontribusi
psikologi dalam bidang forensik sebenarnya mencakup area kajian yang sangat
luas, mulai membuat kajian tentang profil para pelaku kejahatan (offender profilling), mengungkap dasar neuropsikologik,
genetik, dan proses perkembangan pelaku, saksi mata (eyewitness), mendeteksi kebohongan, menguji kewarasan mental, soal
penyalahgunaan obat dan zat adiktif, kekerasan seksual, kekerasan domestik,
soal perwalian anak, dan juga soal rehabilitasi psikologis di penjara. Dengan
begitu luasnya cakupan kontribusi psikologi dalam bidang forensik, subbidang
ilmu ini sebenarnya sangat menjanjikan baik bagi karier akademis ataupun profesional
praktisioner
![]() |
Sumber : http://www.slideshare.net/husnafajrina/spesialisasi-psikologi-klinis |
Tugas Profesi Psikologi
Forensik. Berikut akan dipaparkan tugas profesi psikologi forensik di setiap
tahap proses peradilan pidana :
1. Di kepolisian,
seperti telah diuraikan terdahulu tugas polisi dalam peradilan pidana adalah
menyelidik dan menyidik (Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1982). Dalam
kasus-kasus tertentu psikolog dapat diminta bantuannya agar informasi yang diperoleh
mendekati kebenaran. Psikolog Forensik dapat membantu penyelidikan polisi pada
pelaku, korban dan saksi
2. Pada pelaku,
psikolog forensik dapat membantu polisi dalam melakukan interogasi (Bartol
& Bartol, 1994; Constanzo, 2006; Gudjonsson & Haward, 1998; Putwain
& Sammons, 2002), membuat criminal
profiling, mendeteksi kebohongan (Constanzo, 2006). Bantuan psikolog
forensik dalam interogasi pada pelaku agar mengakui kesalahannya. Biasnaya jika
poisi yang menangani, maka teknik yang di gunakan adalah model lama, yakni
menggunakan kekerasan sebagai ancaman bagi pelaku yg di interogasi, jika pelaku
menunjukkan tanda-tanda berbohong maka polisi akan memukul ataupun menampar
pelaku, intinya menyakiti secara fisik dengan harapan pelaku akan berkata jujur.
Deteksi kebohongan merupakan keahlian dari psikologi forensik yang dapat di
tularkan kepada polisi. Alat polygraph yang di kombinasikan dengan metode
bertanya dapat menjadi bantuan psikolog forensik untuk mendeteksi kebohongan
pelaku.
3. Pada korban, biasanya
pada kasus-kasus tertentu korban mengalami trauma, misalnya kasus perkosaan
atau kekerasan pada anak. Sehingga untuk mendapatkan keterangan secara langsung
dari korban akan sedikit kesulitan. Di sinilah peran psikolog forensik, karena
psikolog lihai dalam membuat orang lain menjadi lebih nyaman dan terbuka ketika
berbicara. Maka skill ini sangat di butuhkan untuk mengkroscek data, mungkin
antara pelaku dengan korban ataupun dengan informan lainnya. Selain itu, untuk
kasus yang masih ambigu antara korban yang bunuh diri atau di bunuh, psikolog
forensik bisa masuk sebagai ahli untuk melakukan otopsi psikologi. Cara
melakukan otopsi adalah mngkaji sumber bukti, tidak langsung seperti catatan
yang ditinggalkan almarhum, data dari teman atau keluarga korban. Tujuan dari
otopsi psikologi adalah merekonstruksi keadaan emosional, kepribadian, pikiran
dan gaya hidup almarhum. Hingga dapat di tarik beberapa hipotesis untuk
membantu polisi dalam memutuskan apakah korban bunuh diri atau terbunuh.
4. Pada saksi, proses
peradilan pidana sangat bergantung pada hasil investigasi pada saksi, karena
baik polisi, jaksa dan hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Brigham
dan Wolfskeil (Brigham, 1991) meneliti bahwa hakim dan juri di Amerika menaruh
kepercayaan 905 terhadap penyataan saksi, padahal banyak penelitain membuktikan
bahwa kesaksian yang diberikan saksi banyak yang bias. Teknik intervies
investigasi yang sering di bicarakan adalah (Constanzo, 2004; Kapardis, 1997;
Milne & Bull, 2000) hipnosis dan wawancara koginitif. Teknik hipnosis ini
walau tidak selalu digunakan pada tiap saksi, namun masih bisa digunakan ketika
informasi tentang suatu kejadian tidak ada kemajuan yang berarti. Psikologi
forensik yangmenguasai teknik hipnosis dapat membantu polisi untuk menemukan
informasi dalam memori saksi yang tidak akan di capai oleh teknik lain.
Kemudian wawancara kognitif, merupakan teknik yang diciptakan oleh Ron Fisher
dan Edward Giesielman pada 1992. Tujuannya adalah untuk meningkatkan proses
retrieval yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas informasi dengan cara
membuat saksi/ korban merasa rileks dan kooperatif
Baca juga : Pelajari Ilmu Psikologi dan Rasakan Manfaatnya
5. Di kejaksaan,
Psikolog Forensik dapat membantu jaksa dengan memberikan keterangan terkait
dengan kondisi psikologis pelaku maupun korban. Pada kasus KDRT dengan kondisi
korban mengalami trauma psikis yang berat. Keterangan psikologi forensik
tentang kondisi psikis korban dapat digunakan sebagai dasar melakukan
penuntutan terhadap pelaku. Psikolog juga dapat memberikan pelatihan kepada
jaksa terkait dengan gaya bertanya kepada saksi, korban maupun pelaku. Ancok
(1995) menengarai bahwa gaya bertanya jaksa yang salah akan membawa pada
informasi yang keliru.
6. Pengadilan, peran
psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan, dapat sebagai saksi
ahli dalam kasus yang terkait dengan aspek psikologis (Meliala, 2008). Psikolog
forensik juga dapat bekerja untuk pengacara dalam memberikan masukan terkait
dengan jawaban-jawaban yang harus diberikan kliennya agar tampak meyakinkan.
Sebelum persidangan yang sesunggunya, psikolog akan merancang kalimat, ekspresi
dan gaya yang akan ditampilkan terdakwa agar ia tidak dapat mendapat hukuman
yang berat (Wrightsman, 2001). Namun hal ini di Indonesia masih jarang. Yang sudah ada adalah pengacara meminta keterangan dari psikolog untuk memberi
keterangan yang menuntungkan kliennya.
- Referensi :
Ancok D (1995), Nuansa Psikologi Pembangunan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset
Bartol, C & Bartol,
A, M (1994), Psychological and Law, Pasicif
Grove, California: Brooks/Cole Publishing Company
Constanzo, M (2004). Psychology applied to law, Singapore:
Thomson Wadsworth
Constanzo, M (2006) Aplikasi Psikologi dalam Sistem Hukum
(H. P Soetjipto & S. M.Soetjipto, Pengalih bahasa), Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Gudjonsson, G. H &
Haward L R C (1998), Forensic Psychology:
A guide to practice, London Routledge
Kapardis, A (1997), Psychology and law, Cambridge: Cambridge
Universty Press
Meliala, A (2008), Kontribusi Psikologi dalam Dunia Peradilan:
Dimana dan mau kemana? Indonesian Journal-Legal and Forensic Sciences.l (1)
56-59
Milne, P & Bull R
(2000), Investigative Interviewing:
Psychology and practice. Singapore: John Wiley & Sons. LTD
Probowati Yusti (2008),
Psikologi Forensik : Tantangan Psikolog
sebagai Ilmuwan dan Profesional, Surabaya, Anima, Indonesian Psychological
Journal
Putwain, D &
Sammons, A (2002), Psychology and crime,
New York: Routledge
Wrightsman, L.S (2001),
Forensic Psychology. Singapore:
Wadworth Thhomson Learning.
Hallo ka, saya mau tanya kalo psikologi forensik itu kan S2, nah di S1 itu saya penah baca katanya ada pengelompokan yang klinis, perkembangan, riset, pendidikan dll. Nah kalo nnti nya mau lanjut forensik kelompok itu nya pilih yg mana ya. Terimakasih :)
BalasHapus