Menurut Notosoedirjo dan Latipun
(2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan kesehatan
mental (mental hygene) yaitu: (1)
karena tidak mengalami gangguan mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor,
(3) sesuai dengan kapasitasnya dan selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh
dan berkembang secara positif. Berbicara mengenai kesehatan mental masyarakat
memang merupakan sesuatu hal yang kompleks untuk di bahas. Karena untuk saat
ini masalah kesehatan mental di Indonesia bisa di bilang memprihatinkan.
Tingginya angka prevalensi gangguan jiwa tidak diimbangi dengan tersedianya
jumlah profesi yang menangani dan fasilitas pelayanan yang memadai.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO),
jumlah penderita gangguan jiwa di dunia pada tahun 2001 adalah 450 juta jiwa.
Satu dari empat keluarga sedikitnya mempunyai seorang anggota keluarga dengan
gangguan kesehatan jiwa. Setiap empat orang yang membutuhkan pelayanan
kesehatan, seorang diantaranya mengalami gangguan jiwa dan sering kali tidak
terdiagnosa secara tepat sehingga tidak memperoleh perawatan dan pengobatan
dengan tepat (WHO, 2001). Hal tersebut menunjukan masalah gangguan jiwa di
dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius dan menjadi masalah
kesehatan global. Dan data tersebut
diatas, kini jumlah itu di perkirakan sudah meningkat.
Di Indonesia berdasarkan riset
kesehatan dasar tahun 2007 bahwa prevalensi gangguan jiwa berat sebesar empat
sampai lima penduduk dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa
berat. Prevalensi gangguan mental emosional penduduk Indonesia yang berusia
lebih dari 15 tahun sebesar 11,6%. Masalah kesehatan jiwa dengan pasien gangguan
jiwa terbesar (70%) adalah skizofrenia, angka kejadian skizofrenia didunia 0,1
permil tanpa memandang perbedaan status sosial budaya. Tahun 2009 berdasarkan
data dari 33 rumah sakit jiwa di Indonesia menyebutkan bahwa penderita gangguan
jiwa berat mencapai 2,5 juta orang.
Kemudian berdasarkan hasil Riskesdas
tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat atau dalam istilah medis
disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi dibanding
daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal
salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah
dipasung mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya
mencapai 10,7 persen.
BUDAYA
Sudut pandang terhadap suatu
permasalahan seringkali dipengaruhi oleh budaya yang melatar belakangi, baik
dalam proses memahami masalah atau pun dalam menyelesaikan masalah. Banyak hal
dalam kehidupan yang dipengaruhi oleh budaya, kesehatan mental dan gerakan
kesehatan mental adalah salah satu contohnya. Terjadi pergeseran paradigma
dalam pemahaman gerakan kesehatan mental, yang mana saat ini gerakan kesehatan
mental lebih mengedepankan pada aspek
pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran komunitas dalam membantu optimalisasi
fungsi mental individu.
Dalam kesehatan mental, faktor
kebudayaan juga memegang peran penting. Apakah seseorang itu dikatakan sehat
atau sakit mental bergantung pada kebudayaannya (Marsella dan White, 1984).
Hubungan kebudayaan dengan kesehatan mental dikemukakan oleh (Wallace, 1963)
meliputi :
1). Kebudayaan yang mendukung dan
menghambat kesehatan mental.
2). Kebudayaan memberi peran tertentu
terhadap penderita gangguan mental.
3). Berbagai bentuk gangguan mental
karena faktor kultural, dan
4). Upaya peningkatan dan pencegahan
gannguan mental dalam telaah budaya.
Selain itu budaya juga mempengaruhi
tindakan penanganan yang dilakukan terhadap gangguan mental itu sendiri.
Misalnya banyak riset-riset dalam psikiatri dan psikologi cenderung bias,
karena tidak memperhitungkan faktor budaya. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa
pengalaman sakit (illness experience) adalah
bersifat Interpretive, artinya ia dikonstruksi pada suatu situasi sosial tertentu,
karenanya harus dipahami lewat premis-premis yang berlaku pada suatu budaya
tertentu. Dengan kata lain konsep kesehatan mental pada suatu budaya tertentu
harus dipahami dari hal-hal yang dianggap mempunyai arti dan bermakna pada
suatu budaya tertentu, sehingga harus dipahami dari nilai-nilai dan falsafah
suatu budaya tertentu.
Salah satu contoh adanya pengaruh
budaya dalam kesehatan mental adalah melalui penelitian yang dilakukan oleh
Hamdi Muluk (Psikologi UI) dan J. Murniati (Psikologi Unpad) yang membahas
teoretik tentang konsepsi kesehatan mental menurut konsepsi kultural etnik Jawa
dan Minangkabau. Kerangka pembahasan memakai tentatif hipotesis oleh Naim (1980)
tentang dua pola kebudayaan, yakni J
(Jawa) dan M (Minangkabau). Pola J yang dicirikan oleh hirarkis, feodalistis,
dan paternalisitik, sementara pola M berciri masyarakat yang tribal,
bersuku-suku, demokratis, fraternalistik dan desentralistis. Analisis terhadap
isi prinsip kebudayaan yang ideal (ideal
culture) memperlihatkan perbedaan yang mendasar dalam melihat konsep
kesehatan mental. Jawa mengartikan keselarasan sebagai sesuatu yang harus
dibatinkan, dimana konflik-konflik yang timbul diredam dan dialihkan, bahkan
disublimasi kedalam bentuk lain, antara lain dengan laku batin atau kebatinan.
Melalui kebatinan ini manusia Jawa berusaha mencapai manuggaling kawulo-gusti;
suatu keadaan yang sempurna. Kondisi demikian mencerminkan keadaan yang fit
dari psikis seseorang yaitu kondisi mental yang sangat sehat. Sementara etnik
Minangkabau tidaklah memandang konflik sebagai hal yang harus dipendam,
sebaliknya malah dibiarkan terbuka dan harus dicari penyelesaian dengan mufakat
terbuka. Ketegangan diperbolehkan, untuk mendorong kompetisi asal masih dalam
prinsip alua jo patuik dan raso jo pareso. Pemecahan konflik tidak
harus dibatinkan, tapi harus dicari dalam dialog yang intens. Disamping hal
tersebut ukuran yang dipakai untuk menentukan sehat mental seseorang adalah:
kepintaran menyesuaikan diri terutama untuk survive
dengan pergulatan dengan kehidupan keras dirantau, kemampuan menyembunyikan aib
(terutama aib pribadi dan keluarga), kemashuran, ketenaran, kemegahan (ego
pribadi dan meyangkut harga diri), serta kemampuan menyumbang secara nyata bagi
masyarakatnya. Karenanya seorang individu terus didorong untuk terus
berkompetisi dan mencari prestasi setinggi-tingginya.
AGAMA
Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan
antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap
penyerahan diri seorang terhadap suatu
kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah serupa itu akan memberikan sikap
optimis pada seseorang sehingga akan muncul perasaan positif seperti bahagia,
rasa senang, puas, merasa sukses, merasa dicintai atau rasa aman.
Salah satu pandangan yang paling
terkenal mengenai interaksi keyakinan beragama dengan mental health adalah dari
Viktor Frankl, pendiri logoterapi. Victor Frankl dalam bukunya The Doctor and the Soul, menunjukkan
tiga bidang kegiatan secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan
seseorang memperoleh makna dalam hidupnya, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai
penghayatan (experiental values), dan
nilai-nilai bersikap (attitudinal
values). Dengan merealisasikan nilai-nilai tersebut, diharapkan seseorang
mampu menemukan dan mengembangkan makna hidupnya, sehingga mengalami hidup
secara lebih bermakna (the meaningful
life) yang merupkan pintu menuju kebahagiaan (happiness).
Agama dapat digolongkan pada
nilai-nilai penghayatan, salah satu nilai yang dapat menjadi sumber makna
hidup. Walaupun menurut victor Frankl, antara keyakinan beragama dengan
kesehatan mental tidak ada hubungan kausalitas secara langsung.
Walaupun tidak ada hubungan kausalitas
langsung, tetapi berdasarkan penelitian para ahli psikologi dan kesehatan, ternyata bahwa komitmen keagamaan,
pada kasus-kasus gangguan mental, mampu mencegah dan melindungi seseorang dari
berbagai macam penyait mental.
The experiental values adalah
religious commitment, yaitu hidup secara Islami. Maka untuk hidup secara islami
bibutuhkan konsep dan prinsip-prinsip Islam untuk kesehatan jiwa. Pertama,
melalui pendekatan training bercorak psiko-edukasi, yaitu sadar akan keunggulan
dan kelemahan, sehingga terus-menerus melakukan evaluasi diri untuk mampu
mengaktualisasikan potensi-potensi dirinya, yakni mampu mengembangkan
fitrahnya. Kedua, berusaha untuk selalu mampu menyesuaikan dirinya, berusaha
untuk menentukan arti dan tujuan hidup (hanya semata-mata untuk beribadah dan
memperoleh ridho-Nya). Ketiga, pelatihan disiplin (meningkatkan kualitas
pribadi) yang berorientasi Spiritual Religius, misalnya dengan dzikir, puasa,
salat dan ritual-ritual keagamaan lainnya.
SOSIAL
EKONOMI
Menurut Patel, Swartz, & Cohen
(2005) faktor-faktor sosial ekonomi seperti: kemiskinan, kekurangan pendidikan
dan kekurangan lapangan kerja menjadi faktor resiko dari kesehatan mental.
Artinya, orang yang mengalami keadaan sosial dan ekonomi yang buruk beresiko
mengalami ketidaksehatan mental. Dalam bagan yang digambarkan di A Public Health Approach to Mental Health, hubungan
antara faktor ekonomi khususnya kemiskinan dengan kesehatan mental adalah
seperti lingkaran setan yang berketerusan.
Berikut beberapa data yang pernah di
temukan terkait dengan hubungan sosial ekonomi dengan permasalahan kesehatan
mental :
a. Gangguan mental (neurosis) yang
dialami masyarakat miskin 2 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan
masyarakat yang tidak miskin (Patel, V,
et al., Women, poverty, and common mental disorders in four restructuring
societies. Journal Social Sciense and Medicine, 1999).
b. Masyarakat yang mempunyai persoalan
dengan kelaparan dan berhutang, memiliki potensi yang besar untuk mengalami
gangguan mental-neurosis (Patel, V, et
al., Women, poverty, and common mental disorders in four restructuring
societies. Journal Social Sciense and Medicine, 1999)
c. Gangguan mental (neurosis) pada
umumnya dialami oleh masyarakat yang tinggal di daerah pemukiman yang miskin
dan padat (Araya, et al.,Education and
income: which is more important for mental health?)
d. Gangguan mental (neurosis) juga
pada umumnya dijumpai pada masyarakat yang tingkat penganggurannya tinggi dan
berpenghasilan rendah (WHO International
Consortium of Psychiatric Epidemiology. Cross-national Comparisons of Mental
Disorders.Bulletin of the WHO, 2000)
e. Khusus gangguan mental psikosis
masyarakat yang memiliki status social ekonomi terendah mempunyai kecenderungan
resiko schizophrenia 8 kali lebih tinggi ketimbang masyrakat yang memiliki
status sosial tertinggi bandingkan dengan penelitian yang dilakukan pada tahun
1964 oleh Holingshead ditemukan hasil bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi
rendah memiliki prevalensi yang tinggi mengalami psikotik, sedangkan prevalensi
neurotik lebih banyak dialami oleh kelompok sosial ekonomi tinggi. Kesimpulan
ini tidak berlaku untuk psikosis jenis depresi, karena prevalensinya lebih
tinggi dialami oleh kelompok ekonomi tinggi (Saraceno,
B and Barbui C., Poverty and mental illness. Canadian Journal of Psychiatry,
1997)
SEJARAH
Sejak zaman dahulu di Indonesia sudah
dikenal adanya gangguan jiwa. Namun demikian tidak diketahui secara pasti
bagaimana mereka diperlakukan pada saat itu.Beberapa tindakan terhadap pasien
gangguan jiwa sekarang dianggap merupakan warisan nenek moyang kita,maka dapat
dibayangkan tindakan yang dimaksud adalah dipasung,dirantai atau diikat lalu
ditempatkan tersendiri di rumah atau hutan apabila gangguan jiwanya berat dan
membahayakan. Bila pasien tidak membahayakan maka dibiarkan berkeliaran di desa
sambil mencari makan sendiri dan menjadi bahan tontonan masyarakat. Ada juga
yang diperlakukan sebagai orang sakti atau perantara Roh dan manusia. Jika
belajar dari sejarah,usaha kesehatan jiwa dan perawatannya di Indonesia dibagi
menjadi dua, yakni zaman kolonial dan setelah kemerdekaan.
1). Zaman Kolonial.
Sebelum didirikan Rumah sakit jiwa di Indonesia pasien gangguan
jiwa ditampung di Rumah Sakit Sipil atau militer di Jakarta,Semarang dan
Surabaya.Pasien yang ditampung adalah mereka yang sakit jiwa berat saja.Perawatan
yang dijalankan saat iu hanya bersifat penjagaan saja.Tahun 1862 pemerintah
Hindia Belanda melakukan sensus pasien gangguan jiwa diseluruh Indonesia.Di
Pulau Jawa dan Madura ditemukan pasien sekita 600 orang,sedangkan didaerah lain
ditemukan sekitar 200 orang.Berdasarkan temuan tersebut pemerintah mendirikan
Rumah sakit jiwa bagi pasien gangguan jiwa.
![]() |
Suasana Rumah Sakit Jiwa di Cilendek Pada Zaman Kolonial |
Pada tanggal 1 Juli 1882 didirikan
rumah sakit jiwa pertama di Indonesia, di Cilendek Bogor Jawa Barat dengan kapasitas 400 tempat tidur.Rumah
sakit jiwa yang kedua didirikan di Lawang Jawa timur tanggal 23 Juni 1902.Rumah
Sakit jiwa ini adalah terbesar di Asia tenggara dengan kapasitas 3300 tempat
tidur.Rumah sakit jiwa yang ke-3 didirikan di Magelang pada tahun 1923,dengan
kapasitas 1400 tempat tidur.Rumah sakit jiwa di Sabang tahun 1927.Menyusul
didirikannya rumah sakit jiwa lainnya di Grogol
Jakarta,Padang,Palembang,Banjarmasin dan manado,masing-masing memikili
kapasitas yang berbeda. Era Pemerintah Hindia Belanda mengenal empat macam
tempat perawatan pasien gangguan jiwa yakni 1. Rumah Sakit Jiwa (di Bogor,
Magelang, Lawang dan Sabang), perawatan bersifat isolasi dan penjagaa, 2. Rumah
Sakit Sementara yakni tempat penampungan sementara bagi pasien Psikotik akut
yang dipulangkan setelah sembuh, 3. Rumah Perawatan, berfungsi sebagai Rumah
sakit jiwa, dikepalai oleh seorang perawat berijazah dibawah penugasan Dokter
umum, 4. Koloni yakni tempat penampungan pasien yang sudah tenang dan mereka
bekerja dilahan pertanian.
2). Zaman Setelah Kemerdekaan.
Perkembangan usaha kesehatan jiwa di
Indonesia meningkat,ditandai terbentuknya jawatan urusan penyakit jiwa pada
bulan Oktober 1947.Usaha kesehatan jiwa tetap berjalan walaupun lambat. Pada
saat itu masih terjadi revolusi fisik,tetapi pembinaan dan penyelenggaraan
kesehatan jiwa tetap dilaksanakan. Pada tahun 1951 dibuka sekolah perawat jiwa
untuk orang Indonesia. Perawatan kesehatan jiwa mulai dikerjakan secara modern
dan tidak lagi ditempatkan secara tertutup. Pasien dirawat diruangan dan bebas
berinteraksi dengan orang lain. Pasien dihargai martabatnya sama dengan manusia
lainnya. Jawatan urusan kesehatan jiwa bernaung dibawah Departemen Kesehatan
terus membenahi sistem pengelolaan dan pelayanan kesehatan.Tahun 1966 dirubah
menjadi Direktorat Kesehatan jiwa dan sampai sekarang dipimpin oleh Kepala
direktorat Kesehatan jiwa. Pada tahun yang sama ditetapkan Undang-Undang
kesehatan jiwa no.3 tahun 1966 oleh pemerintah,sehingga membuka peluang untuk
melaksanakan modernisasi semua sistem RSJ dan pelayanannya.
Kesehatan jiwa terus berkembang pesat
pada abat ke-20 ini.Metode perawatan dan pengobatan bersifat ilmiah.Pengobatan
disesuaikan dengan perkembangan Iptek,menggunakan obat-obatan
psikofarmaka,terapi shock/ECT dan terapi lainnya.Demikian juga dengan Praktek
keperawatan menggunakan metode ilmiah proses keperawatan,komunikasi terapeutik
dan terapi modalitas keperawatan dengan kerangka ilmu pengetahuan yang
mendasari praktek profesional.
Peran dan fungsi perawat jiwa dituntut
lebih aktif dan profesional untuk melaksanakan pelayanan keperawatan kesehatan
jiwa. Pada saat ini pelayanan keperawatan kesehatan jiwa berorientasi pada
pelayanan komunitas. Komitmen ini sesuai dengan hasil Konferensi Nasional I
Keperawatan jiwa pada bulan Oktober 2004,bahwa pelayanan keperawatan diarahkan
pada tindakan preventif dan promotif. Hal ini juga sejalan dengan paradigma
sehat yang digariskan WHO dan dijalankan departemen kesehatan RI, bahwa upaya
proaktif perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa. Upaya
proaktif ini melibatkan banyak profesi termasuk psikiater dan perawat. Penanganan
kesehatan jiwa bergeser pada upaya kuratif/perawatan rumah sakit menjadi
perawatan kesehatan jiwa masyarakat. Pusat kesehatan jiwa masyarakat akan
memberikan pelayanan dirumah berdasarkan wilayah kerjanya,diharapkan pasien
dekat dengan keluarganya sebagai sistem pendukung yang dapat membantu pasien
mandiri dan boleh berfungsi sebagai individu yang berguna.
DAFTAR
PUSTAKA
Hamdi Muluk dan J Muniarti. Konsep Kesehatan Mental menurut Masyarakat
Etnik Jawa dan minangkabau
Djumhana, H.B (1997) Integrasi Psikologi dengan islam menuju
Psikologi Islami cetakan ke2 hlm.131, Pustaka Pelajar
https://psychosystem.wordpress.com/2011/02/09/hello-world/
http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2014/01/16/fakta-menarik-tentang-prevalensi-gangguan-jiwa-di-indonesia-di-yogyakarta-paling-tinggi-624891.html
Jalaluddin (2010) Psikologi Agama hlm 170-172, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Mukhtar GZ. Materi Kuliah Psikologi Agama II. Jurusan PA, Fakultas Ushuluddin,
UIN SGD
Patel, V., Swartz, L., & Cohen, A.
(2005). Chapter 14: The Evidence for
Mental Health Promotion in Developing Countries. Dalam H. Herrman, S. Saxena,
& R. Moodie. Promoting Mental Health: Concepts, Emerging Evidence,
Practice. Geneva: World Health Organization & Victorian Health
Promotion Foundation.
No comments:
Write komentar